URBAN FARMING DAN KARAKTERISTIKNYA


Urban Farming adalah praktek budidaya, pemrosesan, dan distribusi bahan pangan  atau di sekitar kota. Pertanian urban juga bisa melibatkan peternakan, budidaya perairan, wanatani, dan hortikultura. Dalam arti luas, urban farming mendeskripsikan seluruh sistem produksi pangan yang terjadi di perkotaan. Lahan yang digunakan bisa tanah tempat tinggal (pekarangan, balkon, atau atap- atap bangunan), pinggiran jalan umum, atau tepi sungai.
Definisi Urban Farming yang diberikan FAO, Sebuah industri yang memproduksi, memproses, dan memasarkan produk dan bahan bakar nabati, terutama dalam menanggapi permintaan harian konsumen di dalam perkotaan, yang menerapkan metode produksi intensif, memanfaatkan dan mendaur ulang sumber daya dan limbah perkotaan untuk menghasilkan beragam tanaman dan hewan ternak.
Definisi Urban Farming yang diberikan Council on Agriculture, Science and Technology, (CAST), Mencakup aspek kesehatan lingkungan, remediasi, dan rekreasi.Kebijakan di berbagai kota juga memasukkan aspek keindahan kota dan kelayakan penggunaan tata ruang yang berkelanjutan dalam menerapkan pertanian urban.
Definisi Urban Farming yang diberikan Badan Pusat Statistik, adalah suatu aktivitas pertanian di dalam atau di sekitar perkotaan yang melibatkan keterampilan, keahlian, dan inovasi dalam budidaya dan pengolahan makanan.
Definisi Urban Farming yang diberikan Balkey M, adalah rantai industri yang memproduksi, memproses dan menjual makanan dan energi untuk memenuhi kebutuhan konsumen kota.

Di wilayah perkotaan mempunyai karakteristik yang khas baik dari segi sumber daya manusia maupun sumber daya alamnya. Diantaranya adalah :
·        Sub Sistem Budaya, merupakan segala kegiatan yang berhubungan dengan cara memproduksi tanaman dengan berbagai teknik, meliputi :
·        Vertikultur. Teknis budidaya secara vertical atau disebut dengan sistem vertikultur, merupakan salah satu strategi untuk mensiasati keterbatasan lahan, terutama dalam rumah tangga. Vertikultur ini sangat sesuai untuk sayuran seperti bayam, kangkung, kucai, sawi, selada, kenikir, seledri, dan sayuran daun lainnya. Namun demikian, untuk budidaya vertikultur yang menggunakan wadah talang/ paralon, bamboo kurang sesuai untuk sayuran buah seperti cabai, terong, tomat, pare dan lainnya. Hal ini disebabkan dangkalnya wadah pertanaman sehingga tidak cukup kuat menahan tumbuh tegak tanaman.
·        Hidroponik.; Hidroponik berarti budidaya tanaman yang memanfaatkan air dan tanpa menggunakan tanah sebagai media tanam. Berdasarkan media tumbuh yang digunakan, hidroponik dapat dibagi menjadi tiga macam yaitu a) kultur air yakni hidroponik yang dilakukan dengan menumbuhkan tanaman dalam media tertentu yang dibagian dasar terdapat larutan hara, sehingga ujung akar tanaman akan menyentuh laruan yang mengandung nutrisi tersebut, b) hidroponik kultur agregat, yaitu metode hidroponik yang dilakukan dengan menggunakan media tanam berupa kerikil, pasir, arang sekam pasi, dan lain-lain. Pemberian hara dilakukan dengan cara mengairi media tanam atau dengan cara menyiapkan larutan hara dalam tangki lalu dialirkan ke tanaman melalui selang plastik, dan c) Nutrient Film Technique (NFT) adalah metode hidroponik yang dilakukan dengan cara menanam tanaman dalam selokan panjang yang sempit yang dialiri air yang mengandung larutan hara. Maka di sekitar akar akan terbentuk film (lapisan tipis) sebagai makanan tanaman tersebut. Faktor penting yang perlu diperhatikan pada hidroponik adalah unsure hara, media tanam, oksigen dan air. Hara akan tersedia bagi tanaman pada pH 5.5-7.5, sedangkan yang terbaik adalah pada pH 6.5. Jenis larutan hara pupuk yang sudah sangat dikenal untuk tanaman sayuran hidroponik adalah AB mix solution. Sedangkan untuk kualitas air yang sesuai adalah yang tidak melebihi 2500 ppm atau mempunyai nilai EC tidak lebih dari 6,0 mmhos/cm serta tidak mengandung logam berat dalam jumlah besar.
·        Aquaponik dan Vertiminaponik. Akuaponik merupakan sistem produksi pangan, khususnya sayuran yang diintegrasikan dengan budidaya hewan air (ikan, udang dan siput) di dalam suatu lingkungan simbiosis. Salah satu model akuaponik yang diintroduksikan oleh BPTP Jakarta “vertiminaponik”., yang merupakan kombinasi antara sistem budidaya sayuran berbasis pot talang plastic secara vertical dengan sistem akuaponik. Oleh karena itu sistem ini dinamakan “vertiminaponik”. Vertiminaponik diintroduksikan dengan bentuk persegi berukuran panjang 140 cm, lebar 100 cm dan tinggi 90 cm berupa tandon air berbahan fibreglass dengan volume 500 liter air. Sistem ini dilengkapi dengan talang plastic dengan panjang 1 meter sebanyak delan buah yang disusun di rak besi yang diletakkan diatas tandon air/kolam. Media tanam yang digunakan adalah batu zeolit berukuran 20 mesh yang dicampur dengan bahan organic dan tanah mineral dengan perbandingan 3:1. Sistem penanaman dengan menggunakan vertiminaponik dilakukan secara padat tebar, yang artinya benih
disebar dengan jarak tanam sangat padat. Selain itu, ikan yang dibudidayakan juga secara padat tebar, yaitu 300 ekor untuk ikan lele, sedangkan bawal, nila dan patin sekitar 150-200 ekor.
·        Wall gardening.Sistem budidaya wall gardening termasuk dalam jenis budidaya tanaman vertical. Bedanya sistem ini, memanfaatkan tembok atau dinding sebagai tempat untuk menempatkan modul pertanaman. Model wall gardening sangat popular untuk tanaman hias dan bahkan sudah banyak dijumpai di gedung-gedung perkantoran atau pusat perbelanjaan. Salah satu model wall gardening yang diintroduksikan oleh BPTP Jakarta adalah sistem kantong yang sangat mudah dan murah untuk diaplikasikan oleh masyarakat. Wall gardening dengan sistem kantong ini dapat dibuat dari lembaran filter geotextile, bahan screen atau terpal. Selain sistem kantong, wall gardening yang mudah diaplikasikan adalah sistem modul, dengan menggunakan media tanam campuran cocopeat dan pupuk kandang/kompos yang dimasukkan ke dalam modul. Penyiraman dan pemupukan untuk sistem wall gardening ini biasanya menggunakan sistem fertigasi otomatis.
·        Sub Sistem Peternakan, merupakan segala kegiatan yang berhubungan dengan cara memproduksi ternak di wilayah perkotaan. DKI Jakarta merupakan salah satu wilayah dengan segala kekhasannya dalam pengembangan ternak. Telah diatur dalam Perda Provinsi DKI Jakarta No.4 tentang Pengendalian Pemeliharaan dan Peredaran Unggas, bahwa penyakit flu burung (Avian Influenza) di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dinyatakan sebagai Kejadian Luar Biasa sehingga perlu segera dilakukan langkah-langkah pengendalian secara menyeluruh terhadap pemeliharaan dan peredaran unggas. Oleh karena itu, berdasarkan Perda tersebut, maka perlu adanya alternatif lain dalam pengembangan ternak di wilayah perkotaan, khususnya Jakarta.
·        Sub Sistem Perikanan, merupakan segala kegiatan yag berkaitan dengan pengelolaan sumber daya perairan. Dalam skala perkotaan, usaha perikanan bukan mustahil untuk dilakukan. Jenis ikan yang dapat dibudidayakan di perkotaan antara lain : ikan air tawar (lele, nila, patin) dan ikan hias. Terdapat metode dan teknik sehingga ruang yang terbatas pun tetap dapat termanfaatkan untuk kegiatan perikanan. Inovasi teknologi yang aplikatif di masyarakat antara lain :
·        Integrasi ikan dan tanaman. Budidaya ikan juga dapat diintegrasikan dengan komoditas lain seperti sayuran, atau dapat disebut dengan sistem akuaponik. Pada budidaya akuponik, nitrat dan pospat yang merupakan limbah dari budidaya ikan dapat diserap dan digunakan sebagai pupuk oleh tanaman akuatik sehingga menurunkan konsentrasi cemaran (N dan P) serta meningkatkan kualitas air. Sistem ini sangat sesuai aplikasinya di masyarakat perkotaan karena dapat diterapkan di pekarangan rumah, hemat air, hemat tenaga, hemat waktu, hemat pupuk dan hasilnya pun sehat (non pestisisda). Selain itu, dapat pula berfungsi menambah estetika lingkungan.
·        Sistem terpal. Dalam pembuatan kolam terpal tidak memerlukan penggalian tanah, sehingga pengaplikasiannya akan lebih mudah, dapat dipindah-pindah, tidak mudah terkena banjir, pembersihan kolam dan pemanenan lebih mudah, dan kontrol terhadap kualitas dan kuantitas air pun lebih mudah. Dalam pembuatan kolam terpal harus memperhatikan jumlah populasinya, misalkan untuk populasi 100 ekor ikan lele, dibutuhkan luas kolam terpal kurang lebih 2m x 1m x 0,6m (p x l x t).
·        Sub Sistem Komposting. Dalam mendukung sub sektor budidaya, penting untuk memikirkan komponen- komponen pendukungnya, diantaranya adalah ketersediaan pupuk. Tidak dipungkiri bahwa limbah organic di perkotaan sangatlah melimpah, sebut saja limbah makanan, limbah sayuran dan buah, limbah dapur yang berpotensi untuk dimanfaatkan menjadi bahan pupuk organic. Berikut inovasi teknologi pengomposan yang mudah diaplikasikan di wilayah perkotaan :
Vermikompos. Merupakan proses pengomposan dengan memanfaatkan berbagai jenis cacing sebagai agen pengomposan. Spesies cacing yang sering digunakan adalah cacing kecil merah (eisenia foetida dan eisenia Andrei), sedangkan cacing tanah merah (lumbricus rubellus) dan cacing biru (perionyx excavates) juga sering digunakan meskipun cacing jenis ini kurang mampu beradaptasi pada umpukan kompos yang dangkal. Sementara itu, cacing tanah biasa (lumbricus terrestris) tidak direkomendasikan untuk digunakan dalam pengomposan karena dapat menggali lebih dalam dari tumpukan kompos yang disediakan. Selain cacing, bahan utama lain dalam pembuatan vermikompos adalah limbah buah dan sayur, limbah kopi, teh, roti, potongan rumput, kertas dan lain-lain. Dalam praktek skala kecil atau rumah tangga, vermikompos sangat mudah diaplikasikan, wadah yang dipakai dapat menggunakan filling cabinet yang terbuat dari plastic, sehingga tersusun rapi dan bersih.
Komposting sistem tumpukan (heap). Metode pengomposan dengan sistem tumpukan selain mudah, juga murah. Fitur dimensi untuk tumpukan adalah minimal 1,5 m x 1 m, sedangkan panjang tumpukan dapat bervariasi tergantung jumlah bahan yang digunakan. Pembalikan tumpukan dapat dilakukan secara berkala. Sisa makanan tidak boleh dibuang pada tumpukan karena dapat mengundang lalat. Sedangkan bahan berkayu juga dapat ditambahkan dalam tumpukan, namun diperlukan perlakuan lain berupa pencacahan bahan sehingga partikel bahan menjadi lebih kecil.

Sumber :
Mayasari, K. 2016. Konsep Urban Farming Sebagai Solusi Kota Hijau. Litbang Pertanian : Jakarta http://jakarta.litbang.pertanian.go.id/ind/index.php/publikasi/artikel/639-konsep-urban-farming-sebagai-solusi-kota-hijau
Rambe, N. 2014. KONSEP URBAN FARMING (PERTANIAN PERKOTAAN)

Komentar